Pada masa pemerintahan Kabinet Amir
Syarifuddin berlangsung perjanjian Renville antara Pemerintahan RI dan
Belanda. Kesepakatan tersebut tidak sesuai dengan keinginan masyarakat
Indonesia. Beberapa tokoh pergerakan memutuskan untuk tidak memberikan
dukungan kepada pelaksanaan Perjanjian Renville karena isi Perjanjian
Renville sangat merugikan bangsa Indonesia.
Terlebih lagi jika mengingat
wilayah RI semakin sempit dan harus mengakui garis Van Mook sebagai
garis baru hasil Agresi Militer I. Kondisi itulah yang membawa perubahan
kekuasaan sehingga Kabinet Amir Syarifuddin digantikan oleh Kabinet
Hatta pada tanggal 29 Januari 1948. Kabinet Hatta diharapkan bisa
mengganti kinerja Kabinet Amir Syarifuddin yang dinilai gagal
memperjuangkan kesatuan NKRI.
Setelah kejatuhannya, Amir
Syarifuddin menjadi tokoh oposan yang melawan kebijakan Pemerintah. Ia
membentuk Front Demokrasi Rakyat pada tanggal 28 Juni 1948 di Surakarta.
Front ini merupakan gabungan dari beberapa kelompok kekuatan politik
saat itu, seperti Partai Sosialis, Pesindo, Partai Buruh, Partai Komunis
Indonesia, dan SOBSI.
Tujuan
pembentukan Front Demokrasi Rakyat adalah untuk merebut kekuasaan
dengan cara demonstrasi dan melakukan tindakan-tindakan kekacauan
lainnya. Kekacauan yang dibuat front tersebut misalnya penculikan dan
pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai musuh. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya keresahan dan teror di masyarakat.
Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun
Sejak
kedatangan Muso dari Moskow teror semakin meningkat, bahkan
kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia saling diadu. Hal ini
sesuai dengan anjuran Muso melalui Partai Komunis Indonesia. Pada
tanggal 18 September 1948 PKI merebut kota Madiun dan memproklamasikan
berdirinya negara Republik Soviet Indonesia, bahkan keesokan harinya
diumumkan pembentukan pemerintahan baru. Peristiwa ini dikenal dengan
Pemberontakan PKI di Madiun.
Untuk
mengatasi pemberontakan PKI tersebut, Pemerintah RI bertindak cepat.
Propinsi Jawa Timur dijadikan sebagai daerah istimewa dan Kolonel
Sungkono, saat ini dikenal sebagai Mayjend Sungkono, diangkat menjadi
Gubernur Militer. Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit,
maka pimpinan operasi penumpasan diserahkan kepada Kolonel A.H. Nasution
yang menjabat sebagai Panglima Markas Besar Komando Jawa.
Walaupun
menghadapi kesulitan, seluruh kekuatan pemberontak akhirnya dapat
ditumpas. Pada waktu itu sebagian besar anggota TNI terikat menjaga
garis demarkasi menghadapi Belanda dengan menggunakan dua brigade
kesatuan cadangan umum Divisi III Siliwangi. Penumpasan pemberontakan
PKI juga dibantu Brigade Surachman dari Jawa Timur serta kesatuan lain
yang setia kepada Republik. Dalam penumpasan tersebut, Muso ditembak
mati dan Amir Syarifuddin dijatuhi hukuman mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar